5 Kenangan Mengajar di Desa

Tiga bulan lalu saya diminta membantu mengajar di MI Al-Huda Rancapinang oleh kepala sekolah yang kebetulan adalah Aa saya. Katanya, untuk mengisi waktu luang. Memanfaatkan waktu usai wisuda.

Saya diwisuda di Universitas Muhammadiyah Malang Dome pada tanggal 17 Oktober 2015. Pertengahan Desember saya pulang ke rumah orang tua saya di Pandeglang.

Di rumah, saya bingung mau mengerjakan apa. Sebenarnya saya ingin kursus bahasa Inggris, Arab, dan kursus menulis, tapi belum ada yang bisa saya realisasikan. Akhirnya, saya terima permintaan untuk mengajar di sekolah milik Aa saya.

Saya mulai mengajar pada bulan Januari. Saya mengajar Bahasa Inggris di kelas empat, lima, dan enam dari Senin sampai Sabtu. Kenapa mengajar Bahasa Inggris padahal saya lulusan Pendidikan Agama Islam? Jawabannya adalah, karena saya dianggap paling bisa di mata pelajaran ini. Saya ‘aamiin’kan saja, ya >.<

Maklum guru di sini semuanya sarjana pendidikan Islam, jadi gagap bahasa Inggris 😋 Beberapa guru malah belum kuliah.

Nah, inilah hal-hal yang saya kenang selama mengajar di desa.

1. Harus Berjalan Kaki di Jalan Becek Sekitar 2,5 KM

image

MI Al-Huda memiliki dua gedung sekolah yang terpisah, satu di kampung Erjeruk Sabrang dan satunya di kampung Rancecet.

image

Rumah orang tua saya di kampung Erjeruk Girang, jadi tidak terlalu jauh untuk mengajar di Erjeruk Sabrang. Tapi mengajar di Rancecet lumayan menguras tenaga. Erjeruk-Rancecet berjarak sekitar 2,5 km. Karena jalan di desa ini sama sekali belum pernah diaspal, maka di sini belum ada angkutan umum. Terpaksa saya harus berjalan kaki.

image

Kebetulan sekarang musim hujan. Ini membuat jalanan licin dan juga berlumpur. Jadi, setiap hari saya becek-becekan ke sekolah. 😜

2. Numpang di Mobil Barang

image

Dua hari dalam seminggu saya mengajar di Rancecet. Sangat melelahkan karena ditempuh dengan berjalan kaki pulang-pergi, belum lagi jalanan yang licin terkena hujan.

Mobil colt bak atau pick up atau pengangkut barang adalah satu-satunya kendaraan yang bisa kami (para guru, siswa, dan warga) tumpangi, atau kalau lagi sendiri bisa numpang sama sepeda motor yang lewat. Nggak usah takut diculik, ya.

Selalu lucu membayangkan betapa bahagianya saya jika sedang lelah berjalan kaki, lalu ada suara mobil barang dari kejauhan. Soalnya saya bisa numpang ikut pergi atau pulang sekolah. Atau, betapa kecewanya saya jika mobil barang melintas di depan sekolah, saya sudah selesai mengajar dan siap pulang, sedangkan guru lain masih mengajar. Mobil itu akan tetap melaju, dan saya harus nikreuh ke rumah.

image

Guru yang saya maksud adalah Bu Nenis dan Bu Darsih. Karena kami bertiga guru perempuan, maka jadwal kami pun dibuat sama. Dua hari mengajar di Rancecet, empat hari di Erjeruk Sabrang. Kami selalu pergi-pulang berbarengan.

3. Mengajar Sendirian

image

Bingungnya mengajar di desa itu, kegiatan belajar mengajar hampir cuma di sekolah. Orang tua hampir sama sekali tidak terlibat dalam belajar anak. Ini membuat sulit guru dalam memahamkan suatu materi kepada siswa. Pahamnya sulit, lupanya mudah. 😌

Mengajar bahasa Inggris parah tingkat kesulitannya. Tata bahasa Indonesia yang belum dipahami anak-anak menjadi kendala. Bahasa Inggris juga sesuatu yang masih sangat asing bagi mereka. Dan, ya, orang tua yang sama sekali tidak paham. Jadi, saya benar-benar sendirian.

Materi harus selalu diulang-ulang, karena kebanyakan anak-anak lupa pelajaran yang sudah dikuasainya minggu kemarin. Tapi itu menjadi tantangan bagi saya untuk selalu mencari cara belajar mengajar yang mudah diingat dan tidak mudah dilupakan.

4. Gajiannya 3 Bulan Sekali

Sejak dulu, saya meniatkan diri untuk tidak mengajar karena ingin mendapatkan uang. Mengajar adalah karena ingin menyampaikan ilmu. Untuk mencari uang, saya ingin dengan cara yang lain, semoga diberi jalan.

“Kalau dihitung-hitung pakai kalkulator, gaji mengajar bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi rizki kan Allah yang atur, buktinya, Alhamdulillah kalau kita mau terus berusaha, selalu berkecukupan bahkan berlebih.” syukur salah seorang guru.

Walaupun begitu, ada juga guru yang berharap pemerintah bisa segera memerhatikan kesejahteraan guru desa.

Hari saat gajian saya melihat beberapa guru tertawa-tawa, satu per satu menyodorkan sebagian uangnya kepada kepala sekolah. Ini, saya bayar hutang, ucap mereka.

Semoga Allah selalu membukakan pintu-pintu rizki untuk orang-orang yang ikhlas.

5. Surat dari Anak-Anak

Saya memang tidak berniat mengajar tetap di sini sekarang. Saya masih harus mengejar mimpi-mimpi saya terlebih dahulu.

Anak-anak murid saya membuat surat. Isinya meminta saya tetap mengajar dan jangan pergi. Ini membuat saya ingin tetap tinggal. Tetapi saya harus pergi dulu.

Yang saya tinggalkan untuk mereka adalah kebiasaan membaca buku. Saya sadar saya tidak bisa menemani mereka belajar selamanya seperti guru-guru lain. Tapi saya tahu, bahwa dengan rajin membaca, anak-anak bahkan bisa lebih pintar dari guru-gurunya sekarang.

Selama mengajar, saya selalu memotivasi anak-anak untuk rajin membaca. Bahkan setiap minggu saya mewajibkan mereka membaca minimal satu buku.

image

Itulah cerita saya mengajar di desa. Lain kali, semoga bisa berkontribusi yang lebih besar dalam bidang pendidikan.

Harapan saya, semoga gerakan mengajar di desa semakin massif. Tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga kita para pemuda. Bismillah, ya, aamiin…