Payung dan Hujan

Aku terlambat datang ke acara launching buku yang diadakan di salah satu aula di kampusku malam itu. Kulipat payung yang masih basah. Dengan malu-malu aku mengisi daftar undangan di meja check-in lalu masuk ruangan. Kursi yang tersedia sudah penuh. Untung saja Riza sudah menyiapkan satu untukku.

“Ay. Aya, sini!” Riza heboh saat melihatku celingak-celinguk mencarinya sambil sesekali menengok gadget, membaca pesan darinya. “Undangan jam berapa datang jam berapa.” Sindirnya saat aku mulai duduk di sampingnya. Aku nyengir sambil mengusap bajuku yang sedikit basah.

“Menunggu hujan reda.”

“Hey, sejak kapan Aya ‘sang gadis di bawah hujan’ mulai menghindari hujan?” tidak hanya Riza, teman-teman kampusku tahu, aku adalah mahasiswa yang akrab dengan payung. Saat yang lain mulai melupakan payung selepas SD, aku setia membawanya sampai ke kampus. Bagiku, hujan adalah momen yang indah. Dan payung adalah benda yang membantuku mensyukurinya, menikmatinya.

Aku mengikik, geli mendengar seloroh temanku yang satu ini. “Ya, ya, ya, tapi menjadi ‘sang gadis di bawah hujan’ malam-malam begini bukan ide bagus. Tidak sehat.”

Sayup-sayup kudengar suara seseorang bernyanyi. Sebenarnya jaraknya tak jauh, kehebohan kami saat bertemulah yang membuat semua suara menjadi senyap, mengalah pada dua makhluk yang maha cerewet. Riza menghentikan obrolan denganku. Matanya tertuju pada vokalis band kampus yang sedang tampil, berbinar. Bibirnya sibuk merapal lirik. Kagum jelas terlihat di wajahnya. “So sweet…” gumamnya.

“Gustav?” aku kaget saat melihat lelaki bersuara merdu itu. Oh, ternyata dia anak band.

“Siapa?” tanya Riza, menyelidik.

“Nama lelaki yang sedang kaukagumi.”

“Vokalis band itu?” aku mengangguk pelan sambil tersenyum ditahan.

“Ya.”

“Baru tahu?” cibirnya.

***

Riza tak memercayai ceritaku. Aku mengenal Gustav jauh sebelum ia tampil di acara launching buku salah satu media mahasiswa di kampusku. Kubilang pada Riza bahwa Gustav pernah sekali numpang sepayung denganku. Saat itu hujan turun sangat deras. Seperti biasa aku berlama-lama menikmatinya dengan mengayun langkah pelan. Tiba-tiba Gustav tergopoh-gopoh berlindung di sampingku.

“Maaf, aku boleh numpang sepayung denganmu?” pintanya sambil menurunkan tas yang tadi digunakan untuk menutupi kepalanya.

Aku canggung.

“Kuliahku di gedung tiga, bisa kuyup kalau tanpa payung.” Katanya, meminta maklum.

Gustav mengenalkan diri dan memberiku nomor telepon. Lelaki itu ganteng, tetapi sangat supel, termasuk terhadap perempuan biasa-biasa saja sepertiku. Sangat langka ketampanan dibonusi ketidaksombongan.

***

“Hey, Aya.” Gustav merangkul pundakku akrab, membuat jantungku memompa darah lebih kencang. Entah, aku belum terbiasa diperlakukan seperti itu oleh lelaki mana pun. Wajar jika saat Gustav melakukannya, ada badai-badai kecil bergemuruh di hatiku.

“Hey, Gustav,” sapaku kaku. “Kamu menyelonong saja ke bawah payungku. Tak ada yang gratis, tahu.” aku belajar bercanda dengannya.

“Mau dibayar dengan sebuah lagu, Nona Manis?” mata tajamnya mengerling. Ah Gustav, tak tahukah bahwa kelakuannya itu dapat membuat pingsan semua perempuan, termasuk aku?

“Eh iya, aku baru tahu. Kamu ternyata vokalis band kampus. Wow!” ujarku kagum.

“Masih tak sebanding dengan pujangga sepertimu.”

“Aku hanya pujangga amatir. Kamu penyanyi tingkat kampus.” jujur saja aku masih belum percaya diri diketahui Gustav sebagai penulis, terlebih karena dia paham seni.

“Kamu bisa aku rekrut sebagai penulis lagu. Aku baca puisimu di koran kampus edisi terbaru. Bagus. Aku suka.”

Gustav melesat keluar dari payungku sambil berteriak terima kasih. Aku memandang punggungnya dengan tersenyum. Membuat lagu yang akan dinyanyikan olehnya? Aku ingin terus tersenyum.

“Itu bukannya Gustav?” Riza terbengong-bengong melihatku sepayung berdua dengan lelaki jangkung itu. “Jadi, kamu benar jalan berdua dengan Gustav? Di bawah payung? Diguyur hujan?”

Aku berjalan tergesa mengejar lift yang sedang terbuka. Malas jika harus lama-lama mengantre lagi. Riza masih mematung melihatku. Beberapa detik kemudian berlari menyusulku.

***

“Sepertinya aku jatuh cinta pada Gustav.” Akuku saat menginap di kos Riza.

“Kamu tahu, aku akan selalu mendukungmu. Setuju atau tak setuju. Percaya atau tak percaya,” timpal Riza. “tapi soal perasaan, kamu jangan gegabah. Apalagi ini pertama kali kamu jatuh cinta.”

“Pertama kali jatuh cinta?”

“Setidaknya inilah pengakuan pertamamu,” Riza meralat ucapannya. Dia selalu menganggapku begitu. Terlalu culun aku di matanya. Meski kuakui aku jarang jatuh cinta, tapi perkembanganku normal. Seusiaku, jatuh cinta bukanlah hal baru. “Gustav bukan orang biasa. Dia idola di kampus kita.” Riza mengingatkan.

Hati kecilku mengakui kebenaran nasihat Riza. Aku tak boleh gegabah. Bukan untuk menjatuhkanku, kutahu itu. Riza hanya tak ingin aku tersakiti harapanku yang tinggi. Gustav adalah bintang di kampusku. Aku hanyalah satu di antara sekian banyak perempuan yang dibuatnya terkagum. Gustav juga berprestasi. Terbukti ia terpilih sebagai salah satu delegasi pertukaran mahasiswa ke luar negeri.

Aku lalu teringat Gustav. Tatapan tajamnya yang diarahkan kepada penonton di aula saat mengisi acara hiburan malam itu, kerlingannya saat sepayung berdua, masih terasa menusuk-nusuk perasaanku. Ingin meloncat bahagia sekaligus ingin menjerit mengungkapkan sakit. Gustav, aku merindukanmu. Bodohkah aku?

Hujan memercikkan tetes air ke jendela Riza, menghantarku tidur.

***

Satu tahun berlalu. Musim hujan datang lagi. Aku masih gadis biasa-biasa saja seperti dulu. Kadang ingin kuhayalkan Gustav kembali dari Eropa, dan dia tetap mengenal payung yang pernah dua kali dia tebengi.

Mataku dikagetkan oleh lelaki jangkung yang sekarang meningkat seratus persen ketampanannya, berdiri di depanku dengan payungnya.

“Gustav?” dia mengangguk.

“Kangen, ya?” ya Tuhan, Gustav, kita belum begitu akrab. Kamu tak punya hak membekap napasku dengan pertanyaan yang jawabanya ada di dalamnya.

“Tak usah malu, Aya.” Gustav menutupkan payungnya. Meminta tempat di sebelahku. “Malaikat turun lebih banyak saat hujan. Di bunyi kepaknya aku mendengar jeritmu. Ragukah kamu pada kemampuannya menyampaikan rindu?” sekarang Gustav mengambil alih peranku, menjadi pujangga amatir. “Sepanjang waktu aku pun merasakannya padamu.”

Aku tersenyum kaku.

Bunyi hujan di atas payungku berirama merdu mengiringi Gustav yang tak henti menyanyikan lagu-lagu cinta. Langkahku memelan. Bukan untuk memenikmati hujan seperti biasa, tapi untuk memastikan bahwa ini nyata.

Sepertinya aku tak bisa memegang pesan Riza. Aku sangat ceroboh kali ini.

Payung dan Hujan. Aku dan Gustav. Aku mencoba berani untuk berharap kami tertakdir selalu bersama. Aku yakin, hujan selalu baik padaku. Tak mungkin ia mengirim seseorang yang salah ke payungku.

#YES
Desember 2014, Malang diguyur hujan.

By Yunie Enaya Sunaya Dikirimkan di cerpen

2 comments on “Payung dan Hujan

Tinggalkan komentar